E & V

                

               
                 Musim dingin tiba tepat di awal bulan berlangsung. Seluruh penghuni rumah dengan suka cita menyambut musim dingin ini dengan berbagai barang yang diperlukan selama beberapa pekan. Para lansia yang bercengkrama ria menghangatkan pagi hari yang dipenuhi kubangan salju. Hanya satu yang menganjal, seorang gadis kecil. Ya, gadis kecil bernama Eva itu tampak sibuk merapatkan jaket bulunya dengan beberapa gerakan menoleh kesana kemari mencari seseorang.          Gerutuan kecil yang dilafalkannya sedikit membuat beberapa orang yang berlalu lalang sekilas meliriknya prihatin.
                
                    “Eva!”panggil seseorang dengan suaranya yang memekik kencang bagai seorang anak kecil yang tersesat di taman bermain. Eva yang mendengarnya secara saksama memilih untuk tidak menoleh sedikit pun walau hati mungilnya terus menerus menyoraki dirinya.
               
                    Apa aku terlalu lama? Hehehe, maaf, seperti biasa, konsultasi di dokter setiap hari Sabtu, ingat?”tanya Verla dengan kekehan kecilnya sambil sesekali membetulkan topi  kecil yang selalu ia kenakan. Eva memutar bolanya, bola matanya tak sengaja menangkap rambut Verla yang jatuh pada pakaian merahnya. Eva menajamnkan penglihatannya, membuat Verla ikut menoleh pada arah mata Eva tertuju.
                
                  “Rambutmu..apakah suhu udaranya terlalu dingin?”tanya Eva kepada Verla yang dengan cepat mengibaskan rambutnya, memperlihatkan beberapa rambut merah tua menghempaskan diri dari pangkal ubun kepalanya.
                
                  “Sepertinya, aku harus lebih sering mengatur jadwal mencuci rambutku yang kian rontok ini, hehehe!”jawab Verla yang masih mempertahankan kekehan kecilnya dengan beberapa kedipan mata. Eva menapakkan senyum miring, antara harus ikut tertawa atau tetap bertahan menjadi patung yang hidup.
               
                  “Omong-omong, kau tak pernah membicarakan apa penyakitmu dengan ku, bukan?”tanya Eva lagi dengan wajah penasaran. Verla yang terlihat gugup, buru-buru menoleh ke arah bunyi bel kecil di antara kerumunan warga yang saling mengira-ngira pada bunyi bel itu. Eva yang kecewa, ikut menoleh ke asal bunyi  bel kecil itu. Beberapa kali, matanya mencuri pandang kepada Verla yang sesekali memijat dahinya  yang penuh kerutan itu.
               
                “ Kau yakin baik-baik saja? Kita bisa berkeliling kota kapan saja. Ini hari pertama musim dingin, jangan terlalu memaksakan diri!”tegur Eva dengan seulas senyuman. Verla tetap menutup mulutnya rapat, menjawab teguran Eva dengan anggukkan kepala lemah dan senyum tipis. Verla pun melambaikan tangan dan bergegas pergi, meninggalkan Eva yang mematung seribu bahasa dengan akal sehatnya yang masih menerka-nerka apa yang terjadi pada Verla.
                
                  Eva menutup pintu kusam bewarna cokelat tua itu perlahan. Lamuannya terbuyarkan oleh suara ponsel kecil di dalam saku jaketnya. Dengan tergesa-gesa, Eva melihat gerangan yang meneleponnya, Verla. Eva mengernyitkan dahi, menekan tombol bewarna hijau dan meletakkan ponselnya di telinga.
                
                   “Hai Verla, ada perlu bantuan apa? Baru saja kau pamit dari rumahku, rindu padaku, kah?”sapa Eva dengan tawa kecil yang memulai percakapan itu. Di seberang sana terdengar dengusan Verla dan beberapa kalimat ketus yang dilontarkannya. Verla pun berdeham. Hening. Itu lah yang dirasakan sekarang.
                
                  “Jadi..tujuanmu meneleponku?”tanya Eva dengan nada suara yang di rendahkan. Sendari tadi tangannya hanya mengutak-ngatik remote televisi yang terpampang di depannya.  Balasan Verla cukup membuat Eva kesal. Bagaimana tidak? Hanya kata ‘oh’ yang di ucapkan panjang olehnya untuk menjawab pertanyaan singkat Eva. Eva hanya terdiam, menyiapkan diri untuk mematikan panggilan itu jika Verla tidak mengatakan tujuannya.
                
                  “Hahaha, maafkan aku. Aku larut dalam pembicaraan yang penuh dengan perdebatan ini. Tujuanku ya..aku hanya ingin bilang untuk tidak merindukanku beberapa bulan ke depan. Kau tau bukan jika aku selalu kontrol pada dokter seperti yang aku katakana padamu tadi? Dokter mengatakan bahwa aku butuh beberapa terapi yang membuat diriku tak bisa beranjak untuk sekedar melangkahkan kaki selain rumah sakit,”jelas Verla di seberang sana dalam satu tarikan napas. Terdengar beberapa gerutu Verla yang menarik napasnya dengan cepat tanpa hembusan napas.
               
                   “Tunggu, beberapa bulan ke depan? Wow, penyakit..maksudku kondisi tubuhmu kurasa semakin melemah. Bisa kau cerita kan padaku apa yang terjadi padamu? Kita sudah bersama dalam suka dan duka sejak kita bersekolah di sekolah dasar. Apakah kau takut? Aku berjanji tak akan berkomentar apa-apa saat kau menceritakan itu kepadaku kecuali adanya pengecualian, aku janji!”seru Eva kencang. Verla yang mendengarnya pun tergelak, dia masih tak yakin untuk menceritakannya, ia takut jika Eva akan menjauh.
                
                  “Adanya pengecualian? Aku masih belum bisa menerima itu. Kau harus tetap sama bersikap padaku dan aku akan menceritakannya padamu, bagaimana? Ini janji yang amat sulit menurutku, maaf jika suatu hari nanti aku yang tak bisa berjanji ada di samping mu,”pinta Verla dengan beberapa helaan napas yang kian memberat. Eva yang menyadari ada sesuatu yang di sembunyikan Verla darinya pun linglung. Lidahnya kelu. Ia tak bisa menjamin akan menjadi sama untuk Verla. Bola mata Eva mengerjap-ngerjap ketakutan, takut akan suatu hal yang datang saat waktu yang tidak tepat.
                
                 “Eva..?”panggil Verla, suaranya yang halus dan lembut itu sekilas membuat otak pintar Eva bekerja memikirkan orang tua Verla yang tak pernah ia temui itu. Eva yakin suara lembut, rambut merah tua, postur tubuh bak model dan beberapa keunikan dirinya merupakan bagian dari keunikan orang tuanya. Atau bahkan, salah satu keunikan Verla adalah penyakit yang mengerogoti tubuh Verla yang tak berdaya itu?
                
                 “Eva, maaf menyela, tapi kurasa kau mengantuk atau sesuatu yang penting membuatmu mengabaikanku untuk beberapa detik yang lalu. Lagipula, aku yakin kau akan tau suatu saat nanti, kau cerdas dan boleh kutambahkan jika kau sangat cerdas. Kurasa, pertanyaan kecil ini mudah untuk dijawab oleh mu. Sampai berjumpa lagi, dan jangan rindu padaku, hehehe!”Kekehan kecil Verla yang semakin nyaring itu mengakhiri pembicaraan panjang. Eva yang berniat membalas gurauan Verla kembali menggerutu kesal saat Verla mematikan panggilan itu.
                           
                 “Dasar kau nenek sihir! Selalu mengakhiri pembicaraan dengan tawa menjengkelkan yang selalu menghantui pikiranku ini, huh!”gerutu Eva sambil menepuk-nepuk bantal sofa yang enggan untuk dijadikan Eva sebagai sandarannya. Acara televisi yang membosankan dan para penghuni rumah kecil ini pergi entah kemana sedikit membuat Eva membenarkan pernyataan Verla bahwa ia mengantuk. Dalam jangka waktu yang tidak lama, Eva sudah dikabarkan terlelap di alam mimpi.
                
                  Berbeda dengan Verla yang terlihat berputar lesu di depan cermin besar. Berkali-kali ia memandang pantulan dirinya. Tangannya dengan lihai menyikat rambutnya yang berkurang setiap menitnya. Jemari lentiknya bergetar saat menggengam rambutnya yang kusam. Verla mengedipkan matanya, meraba-raba wajah mulusnya yang mulai menampakkan kerutan menjijikan. Verla termetegun memandang tulang tubuhnya mulai terlihat tampak di kulitnya. Tubuh kering bagai tak bertulang itu pantas menggambarkan Verla dalam situasi yang tak bisa dipungkiri lagi.
               
                 “Verla, kau yakin kau sudah menyiapkan semua barang yang kau perlukan?”tanya seorang wanita dengan pakaian rapi memasuki kamar Verla yang sunyi. Verla menoleh dengan seukir senyuman melekat di wajahnya. Wanita itu mendekat dan mendekapnya perlahan. Di tariknya sebuah koper besar dan tangan Verla hati-hati, khawatir jika koper ataupun Verla akan jatuh menimpa barang-barang berbahaya di sekitar sini.
                
                 “Sebaiknya, kita bergerak cepat. Kondisimu melemah lebih parah dibandingkan dengan perkiraan dokter.  Verla sudah tahu tentang ini semua, bukan? Sebelum semuanya bertambah parah, bersabarlah, nak!”Wanita yang merupakan ibunda Verla pun memanggil suaminya yang datang dengan setengah berlari menuju mereka berdua. Verla hanya membisu mendengarkan semua hal yang dipersiapkan orang tuanya. Sesekali, ia merasakan perih dan bingung dengan beberapa luka memar berjejer rapi di kulit tangannya. Verla tersenyum memasuki kendaraan megah itu, kendaraan melaju cepat dengan sedikit terburu-buru membuat Verla mendelik ketakutan bahwa hidupnya bergantung pada pemilik kendaraan alias ayahandanya jika beliau tetap mempercepat laju kendaraannya.
                
                   “Verla butuh banyak istirahat, nyonya dan tuan. Sebelum ia memulih, sebaiknya ia tetap tinggal di rumah sakit dalam jangka yang panjang. Kemungkinan ia akan bertahan hidup mulai berkurang, saya akan mencoba sebisa saya menyembuhkan Verla. Selebihnya, kita hanya bisa mengirim doa kesembuhan Verla,”ucap dokter paruh baya itu sambil menunjukkan beberapa diagnosis penyakit Verla yang kian parah. Kedua orang tua Verla, Marla dan Tom hanya saling memandang satu sama lain. Dokter yang sudah mengenal Verla  bagaikan cucunya sendiri itu menyibukkan dirinya dengan membaca beberapa kertas buram sembari menunggu jawaban dari sepasang suami istri di depannya.
               
                   “Apakah terapi yang diterapkan pada Verla kurang, dok? Kami tidak keberatan jika terapi itu dilakukan setiap hari demi Verla?”tanya Tom datar. Tubuhnya bergetar hebat melihat Verla yang terkulai lemas menatap beberapa bayangan dirinya yang kehilangan separuh rambutnya. Marla yang merasakan keheningan itu berdeham membangkitkan kesunyian. Sang dokter mengangkat alisnya dan mengangukkan kepala pelan.
                
                   “Terapi tidak bisa di percaya dapat mengurangi penyakit yang di idap Verla. Tapi, mungkin dapat sedikit menguranginya.”jelas sang dokter dengan desahan pelan. Ia menoleh kepada Verla yang memejamkan matanya, beranjak untuk menegelamkan dirinya di dalam mimpi-mimpi indahnya. Bunyi alat pendengar detak jantung berbunyi normal, hanya ada beberapa bunyi yang berubah namun tetap di nyatakan normal. Hanya saja napas Verla yang belum terlalu teratur membuat tubuhnya menolak tidur dengan nyenyak.
               
                   “Terima kasih, dok! Kami berutang banyak sekali jasa pada kau, kesembuhan Verla yang bertahan cukup lama itu membuat kami benar-benar bahagia. Jika ada sesuatu hebat yang bisa membalas budimu, kami akan melakukannya sebagaimana kami bisa!”Marla dan Tom tidak lelah mengucapkan terima kasih sembari membungkuk hormat dengan senyum lebar yang tak lepas dari wajah mereka. Dokter yang sungkan dengan rendah hati mengatakan jika kesembuhan itu tidak di peroleh darinya, melainkan dari doa yang terkabul selama ini.
                  
                      Setelah menunggu kedua pasangan berbahagia itu beranjak dari rumah sakit dan tak terlihat lagi, sang dokter menutup pintu kamar rawat inap Verla perlahan. Membiarkan Verla tertidur lelah sementara ia mengurus segala keperluan yang Verla butuhkan. Sekali lagi memastikan bahwa Verla aman dari segala bahaya sebelum benar-benar menutup pintu kamar rawat inap berkelas atas itu.
                
                  “…Apa dokter sudah pergi? Hanya aku disini? Bagus, terima kasih atas kepergian kalian semua, sangat berarti bagiku!”Seseorang berkata dengan lembut, bangkit dari tidurnya dan menoleh sekeliling ruangan itu….
                                                                  To Be Continued...
                                      
                                                             Sumber Foto : Google

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk,Kita Kenali 5 Warna Penting Untuk Kesehatan

Kokoru Itu Apa,Sih?

My Name Is Malya